Senin, 01 Desember 2014

Sumber-sumber Hukum Islam

Pengertian Al-QURAN
Menurut bahasa Al quran berarti "bacaan atau dibaca", sedang menurut istilah berarti; kumpulan wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sebagai mukjizat dan bagi yang membacanya adalah ibadah.
Al quran adalah wahyu Allah SWT (QS. Asysyura: 7) yang berfungsi sebagai mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad SAW (QS. Al Isra': 88, Yunus: 38), sebagai pedoman hidup muslim (QS. Annisa': 105, al maidah: 49, al jatsiyah: 20) dan sebagai korektor serta penyempurnaan terhadap kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan sebelumnya (QS. Al maidah: 48, annahl: 64) serta Al quran bernilai abadi.
Sebagai pedoman hidup, Al quran tidak memberatkan dan menyulitkan (QS. Thaha: 2):
Artinya: "Kami tidak menurunkan Al quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah"
Sebagai mu'jizat, Al quran telah menjadi salah satu sebab penting masuknya orang-orang Arab di zaman Rasulullah SAW ke dalam agama Islam dan menjadi sebab penting bagi masuknya orang-orang non muslim sekarang (QS. Al baqarah: 23, al Isra': 88).
Sebagai pedoman hidup, Al quran banyak mengemukakan pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara manusia dengan Allah SWT, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya, (QS. Al isra': 7-9, Ali Imran: 146, 70-71).
Isi kandungan Alquran
Isi kandungan Al quran dilihat dari segi kuantitas dan kualitas.
Segi kuantitas
Alquran terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.236 / 6666 ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata.
Segi kualitas
Isi pokok Alquran (ditinjau dari segi hukum) terbagi menjadi 3 bagian:
Hukum yang berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan rohaniah dengan Allah SWT dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keimanan, ilmu yang mempelajarinya disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam seperti : sholat dll.
Hukum yang berhubungan dengan amaliah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam rukun Islam dan disebut ilmu fiqih contoh : jual beli, syirkah….
Hukum yang berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim memiliki sifat-sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku-perilaku tercela. Seperti : berbakti kepada orang tua.

Contoh hukum:
Bila ditinjau dari hukum syara' terbagi menjadi 2 kelompok:
Hukum ibadah seperti sholat, puasa dll.
Hukum muamalah, termasuk hukum ini adalah:
Hukum munakahat (pernikahan)
Hukum faraid (waris)
Hukum jinayah (pidana)
Hukum hudud (perdata)
Hukum jual beli dan perjanjian
Hukum al khilafah (tata negara)
Hukum makanan dan penyembelihan
Hukum aqdhiyah (pengadilan)
Hukum jihad (peperangan)
Hukum dualiyah (antar bangsa).
Pengertian al hadist
Alhadits adalah segala perilaku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi. Pengertian hadits tersebut adalah identik dengan "sunnah" yang berarti : "jalan atau tradisi juga undang-undang yang tetap berlaku".
Alhadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran. Sebagai muslim, di samping diwajibkan mentaati Alquran, berkewajiban pula mentaati apa-apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW(QS. Alhasyr: 7).
Macam-macam hadits
a. Hadits qauliyah  :  Hadits yang didasarkan atas segenap   perkataan dan ucapan Nabi Muhammad SAW
b. Hadits fi'liyah  :       hadits yang didasarkan atas segenap perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad SAW
c. Hadits taqririyah  :  Hadits yang didasarkan pada persetujuan Nabi Muhammad SAW terhadap apa yang dilakukan sahabatnya.
Selain itu dikenal hadits lain yang disebut hadits hammiyah, yaitu hadits yang berupa keinginan Rasulullah SAW, namun belum sempat terlaksana.
Fungsi hadits terhadap Alquran
"Bayan taqrir" yaitu berfungsi memperkuat hukum yang telah ditetapkan Alquran. Sebagai contoh Alquran melarang berdusta (QS. Alhajj: 30):
" …. Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta".
Larangan ini diperkuat hadits:
"Sebesar-besar dosa adalah syirik kepada Allah SWT, membunuh jiwa, durhaka kepada orangtua dan berkata dusta" (H.R. Imam Bukhari).
"Bayan tafsir" yiatu memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al quran yang masih bersifat umum (global). Misalnya ayat Alquran yang memerintah shalat, menunaikan haji atau membayar zakat, semua bersifat umum. Untuk rinciannya dapat kita temukan di dalam hadits, seperti hadits:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku (nabi) mendirikan shalat"
Adalah merupakan tafsiran dari salah satu ayat Al quran yang umum yaitu (QS. Annur: 56)
"Bayan tasyri'" yaitu menetapkan hukum aturan-aturan yang tidak terdapat di dalam Alquran. Misalnya diharamkan menghimpun dalam pernikahan seorang wanita dengan bibinya. Sabda rasulullah SAW:
"Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan seorang bibi dari pihak bapak ("amah"), dan seorang wanita dengan khalah (bibi dari pihak ibu)". (Disepakati Imam Bukhari dan Muslim)
Pembagian hadits
Istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu hadits adalah:
Matan: ialah materi yang disampaikan oleh perawi
Rawi  : ialah orang yang meriwayatkan
Sanad: ialah orang yang menjadi perantara sampai kepada Nabi
Ditinjau dari matan, rawi, dan sanadnya hadits terbagi menjadi dua:
Hadits maqbul yaitu hadits yang bisa dijadikan sumber hukum, contoh:
1) Mutawatir   : yaitu hadits yang memiliki banyak sanad dan mustahil
   perawinya berdusta
2) Shahih                     : yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir
 dan para perawinya sempurna hafalannya
3) Hasan                      : yaitu hadits yang dari segi hafalan rawinya kurang bila
  dibandingkan hadits shahih
Hadits mardud yaitu hadits yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum,
Contoh:
1) Dhaif                       :  yaitu hadits yang tidak bersambung sanadnya
2) Mauquf                   :  yaitu segala sesuatu yang berasal dari para sahabat
3) Munqathi'   : yaitu hadits yang salah seorang perawi-nya tidak disebutkan namanya.
Pengertian Ijma'
Ijma' secara bahasa adalah ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan. Dan secara istilah berarti ;
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Muhamad Shollallahu 'alaihi wa-sallam terhadap suatu hukum syar'i."
 AL-ijma’ menurut bahasa artinya adalah sepakat, sedang menurut istilah kesepakatan umat nabi Muhammad setelah sepeninggalnya beliau dalam sebuah masa dari beberapa masa mengenai perkara dari berbagai macam perkara.
Macam Macam Ijma`
 Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
    Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari.

    Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.

    Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4.Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
hadits
Kesepakatan seluruh mujtahid tentang hukum syara' yang belum ditentukan hukumnya setelah rasulullah SAW wafat
Berpegang pada hasil ijma' diperbolehkan berdasarkan QS. Annisa': 59.
Berdasarkan ayat tersebut setiap muslim di samping diperintahkan untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, juga harus taat kepada yang mempunyai keahlian (kekuasaan) di bidangnya, termasuk para mujtahid (ulama). Contoh ijma' adalah mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang masih berserakan kemudian membukukannya sebagai mushaf sebagaimana yang kita miliki sekarang.
Contoh hukum ijma’ dan hasilnya
Alasan jumhur ulama membuat kesepakatan dari hadis adalah sabda Rasulullah SAW. Yang artinya“umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW.bersabda: “golongan umatku senantiasa berada dalam kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang yang berbeda pendapat dengan mereka (HR. Bukhari dan muslim)
Seluruh hadits itu menurut Abdul Wahab Khallaf menunjukan bahwa suatu hukum yang disepakati oleh seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat islam seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu sesuai dengan kandungan hadits-hadits diatas tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para mujtahid merekamaka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Pengambilan dasar hukum berdasarkna kesepakatan para mujtahid adalah al-Quran yang berbunyi:
يأيّها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
Menurut sebagian Ulama’ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri yaitu penguasa, dan ulil amri adalah seorang mujathid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama. Apabila Mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau masalah, maka mereka wajib di taati oleh umat. Dari pemahaman seperti ini, pada dasarnya Ijma’ dapat di jadikan aternatif dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada atau kurang jelas hukumnya.
Berikut merupakan contoh-contoh ijma’, yaitu:
1. Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut. Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Upaya pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar As- Shiddiq r.a.
3. Menjadikan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an. Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan As-Sunnah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
4. Para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَامَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya:
Abdullah Ibnu Mas’ud RA berkata: Rasulullah SAW bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq Alaihi.
Beliau bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
5. Contoh ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[15]
Para ulama sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
6. Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman dagingnya.
7. Shalat tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar. Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
8. Para ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
9. Jual beli madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’ tidak dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas barangnya).
10. Para sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak 80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
11. Ijma’ sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiyah yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat di Saqifah Bani Sa’idah.
12. Hak menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris  (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika tidak ada bapak bisa  menggantikan  posisinya  dalam penerimaan warisan, sehingga bisa menerima  warisan seperenam harta sebagaimana yang diperoleh bapak, meski terdapat  anak dari  orang yang meninggal.
13. Para imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam perhitungan zakatnya.
14. Ulama’ sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa diamnya nabi adalah membolehkan.
15. Ijma’ tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang berhalangan.
16. Ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.
17. Para ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
Pendapat yang terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah. Dasar mereka adalah hadits Nabi SAW.
Dari Ibnu Umar ia mengatakan: “Rasulullah SAW. menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita, kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari, Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya. Diriwayat-kan juga oleh Muslim). Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain: “Nabi memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR. Al-Bukhari no. 1507). Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah wajib.
Dalam hal ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat dianjur-kan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus. Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari, 3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82).
Pengertian qiyas
Menurut istilah, qiyas berarti menetapkan hukum suatu masalah atau kejadian yang tidak ada hukumnya dengan masalah yang sudah ada hukumnya, karena di antara keduanya ada persamaan illat (sebab-sebab hukum).
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya.
Contoh hukum
mengharamkan minuman keras seperti bir atau wiski. Haramnya minuman ini karena diqiyaskan dengan khamar yang disebutkan dalam Alquran (QS. Almaidah: 90-91) karena antara kedua-duanya terdapat persamaan illat (sebab, alasan, sifat) yaitu sama-sama memabukkan atau najis.
Perihal ijtihad ini, dapatlah disimpulkan bahwa problematika kehidupan manusia yang muncul senantiasa bisa dijawab oleh Islam melalui pintu ijtihad. Serta Islam sangat menghargai peran akal, asal peran akal ini dipergunakan melalui rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dari segi inilah Islam sangat menghargai ijtihad.
Sebagaimana sabda rasulullah SAW:
"Apabila seseorang hakim memutuskan perkara, kemudian ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala, namun apabila ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu pahala" (HR. Bukhari Muslim)
Istihsani
Yaitu memindahkan hukum dari ketentuan umum kepada pengecualian karena adanya alasan yang lebih kuat.
Istishab
Yaitu Menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai adanya dalil yang merubah keadaan tersebut., 
Maslahatul Mursalah

Yaitu mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’ tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagai memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan. terima kasih menyempatkan diri tuk membaca blog ku yg serba kekurangan ini.."amatir" semoga bermanfaat, salam manis PNL..:)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar