Pengertian
Al-QURAN
Menurut bahasa Al quran berarti "bacaan atau
dibaca", sedang menurut istilah berarti; kumpulan wahyu Allah SWT yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara Malaikat Jibril sebagai
mukjizat dan bagi yang membacanya adalah ibadah.
Al quran adalah wahyu Allah SWT (QS. Asysyura: 7) yang
berfungsi sebagai mu'jizat bagi
Rasulullah Muhammad SAW (QS. Al Isra': 88, Yunus: 38), sebagai pedoman hidup muslim (QS. Annisa': 105,
al maidah: 49, al jatsiyah: 20) dan sebagai
korektor serta penyempurnaan terhadap
kitab-kitab Allah SWT yang diturunkan sebelumnya (QS. Al maidah: 48,
annahl: 64) serta Al quran bernilai
abadi.
Sebagai pedoman hidup, Al quran tidak memberatkan dan
menyulitkan (QS. Thaha: 2):
Artinya: "Kami tidak menurunkan Al quran ini
kepadamu agar kamu menjadi susah"
Sebagai mu'jizat, Al quran telah menjadi salah satu
sebab penting masuknya orang-orang Arab di zaman Rasulullah SAW ke dalam agama
Islam dan menjadi sebab penting bagi masuknya orang-orang non muslim sekarang
(QS. Al baqarah: 23, al Isra': 88).
Sebagai pedoman hidup, Al quran banyak mengemukakan
pokok-pokok serta prinsip-prinsip umum pengaturan hidup dalam hubungan antara
manusia dengan Allah SWT, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan
lingkungannya, (QS. Al isra': 7-9, Ali Imran: 146, 70-71).
Isi kandungan Alquran
Isi kandungan Al quran dilihat dari segi kuantitas dan
kualitas.
Segi kuantitas
Alquran terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.236 / 6666
ayat, 323.015 huruf dan 77.439 kosa kata.
Segi kualitas
Isi pokok Alquran (ditinjau dari segi hukum) terbagi
menjadi 3 bagian:
Hukum yang
berkaitan dengan ibadah: hukum yang mengatur hubungan
rohaniah dengan Allah SWT dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keimanan, ilmu
yang mempelajarinya disebut ilmu tauhid atau ilmu kalam seperti : sholat dll.
Hukum yang
berhubungan dengan amaliah yang mengatur hubungan dengan Allah, dengan sesama
dan alam sekitar. Hukum ini tercermin dalam rukun Islam
dan disebut ilmu fiqih contoh : jual beli, syirkah….
Hukum yang
berkaitan dengan akhlak. Yakni tuntutan agar setiap muslim
memiliki sifat-sifat mulia sekaligus menjauhi perilaku-perilaku tercela.
Seperti : berbakti kepada orang tua.
Contoh hukum:
Bila ditinjau dari hukum syara' terbagi menjadi 2
kelompok:
Hukum ibadah seperti sholat, puasa dll.
Hukum muamalah, termasuk hukum ini adalah:
Hukum munakahat (pernikahan)
Hukum faraid (waris)
Hukum jinayah
(pidana)
Hukum hudud
(perdata)
Hukum jual beli dan perjanjian
Hukum al khilafah (tata negara)
Hukum makanan dan penyembelihan
Hukum aqdhiyah (pengadilan)
Hukum jihad (peperangan)
Hukum dualiyah (antar bangsa).
Pengertian al hadist
Alhadits
adalah segala perilaku Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan
ketetapan Nabi. Pengertian hadits tersebut adalah
identik dengan "sunnah" yang berarti : "jalan atau tradisi juga
undang-undang yang tetap berlaku".
Alhadits
merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Alquran.
Sebagai muslim, di samping diwajibkan mentaati Alquran, berkewajiban pula
mentaati apa-apa saja yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW(QS. Alhasyr: 7).
Macam-macam hadits
a. Hadits qauliyah : Hadits yang didasarkan atas segenap perkataan dan ucapan Nabi Muhammad SAW
b. Hadits fi'liyah
: hadits yang didasarkan atas
segenap perilaku dan perbuatan Nabi Muhammad SAW
c. Hadits taqririyah :
Hadits yang didasarkan pada persetujuan Nabi Muhammad
SAW terhadap apa yang dilakukan sahabatnya.
Selain itu dikenal hadits lain yang disebut hadits hammiyah, yaitu hadits yang
berupa keinginan Rasulullah SAW, namun belum sempat terlaksana.
Fungsi hadits
terhadap Alquran
"Bayan taqrir" yaitu berfungsi memperkuat
hukum yang telah ditetapkan Alquran. Sebagai contoh Alquran melarang berdusta
(QS. Alhajj: 30):
" …. Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta".
Larangan ini diperkuat hadits:
"Sebesar-besar dosa adalah syirik kepada Allah
SWT, membunuh jiwa, durhaka kepada orangtua dan berkata dusta" (H.R. Imam
Bukhari).
"Bayan tafsir" yiatu memberikan rincian dan
penjelasan terhadap ayat-ayat Al quran yang masih bersifat umum (global).
Misalnya ayat Alquran yang memerintah shalat, menunaikan haji atau membayar
zakat, semua bersifat umum. Untuk rinciannya dapat kita temukan di dalam
hadits, seperti hadits:
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku
(nabi) mendirikan shalat"
Adalah merupakan tafsiran dari salah satu ayat Al quran
yang umum yaitu (QS. Annur: 56)
"Bayan tasyri'" yaitu menetapkan hukum
aturan-aturan yang tidak terdapat di dalam Alquran. Misalnya diharamkan
menghimpun dalam pernikahan seorang wanita dengan bibinya. Sabda rasulullah SAW:
"Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu)
seorang wanita dengan seorang bibi dari pihak bapak ("amah"), dan
seorang wanita dengan khalah (bibi dari pihak ibu)". (Disepakati Imam
Bukhari dan Muslim)
Pembagian hadits
Istilah-istilah yang dipakai dalam ilmu hadits adalah:
Matan: ialah materi yang disampaikan oleh perawi
Rawi : ialah
orang yang meriwayatkan
Sanad: ialah orang yang menjadi perantara sampai kepada
Nabi
Ditinjau dari matan, rawi, dan sanadnya hadits terbagi
menjadi dua:
Hadits maqbul yaitu hadits yang bisa dijadikan sumber
hukum, contoh:
1) Mutawatir :
yaitu hadits yang memiliki banyak sanad dan mustahil
perawinya
berdusta
2) Shahih :
yaitu hadits yang cukup sanadnya dari awal sampai akhir
dan para perawinya
sempurna hafalannya
3) Hasan :
yaitu hadits yang dari segi hafalan rawinya kurang bila
dibandingkan
hadits shahih
Hadits mardud yaitu hadits yang tidak dapat dijadikan
sebagai sumber hukum,
Contoh:
1) Dhaif : yaitu hadits yang tidak bersambung sanadnya
2) Mauquf : yaitu segala sesuatu yang berasal dari para
sahabat
3) Munqathi' :
yaitu hadits yang salah seorang perawi-nya tidak
disebutkan namanya.
Pengertian
Ijma'
Ijma' secara bahasa adalah ( العزم والاتفاق ) Niat yang kuat dan Kesepakatan.
Dan secara istilah berarti ;
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Muhamad Shollallahu 'alaihi wa-sallam terhadap suatu hukum syar'i."
AL-ijma’ menurut bahasa artinya adalah sepakat, sedang menurut istilah kesepakatan umat nabi Muhammad setelah sepeninggalnya beliau dalam sebuah masa dari beberapa masa mengenai perkara dari berbagai macam perkara.
اتفاق مجتهدي هذه الأمة بعد النبي صلّى الله عليه وسلّم على حكم شرعي
"Kesepakatan para mujtahid ummat ini setelah wafatnya Nabi Muhamad Shollallahu 'alaihi wa-sallam terhadap suatu hukum syar'i."
AL-ijma’ menurut bahasa artinya adalah sepakat, sedang menurut istilah kesepakatan umat nabi Muhammad setelah sepeninggalnya beliau dalam sebuah masa dari beberapa masa mengenai perkara dari berbagai macam perkara.
Macam Macam Ijma`
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4.Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam. hadits
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma`bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2. Ijma`sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma` `itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1. ljma`qath`i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma`dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma`-ijma` itu ialah:
1. Ijma`sahabat, yaitu ijma` yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma`khulafaurrasyidin, yaitu ijma` yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma` tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma`shaikhan, yaitu ijma`yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4.Ijma`ahli Madinah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma` ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki
5. Ijma` ulama Kufah, yaitu ijma` yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma` ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam. hadits
Kesepakatan seluruh mujtahid tentang hukum syara' yang
belum ditentukan hukumnya setelah rasulullah SAW wafat
Berpegang pada hasil ijma' diperbolehkan berdasarkan QS. Annisa':
59.
Berdasarkan ayat tersebut setiap muslim di samping
diperintahkan untuk taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya, juga harus taat
kepada yang mempunyai keahlian (kekuasaan) di bidangnya, termasuk para mujtahid
(ulama). Contoh ijma' adalah mengumpulkan ayat-ayat Alquran yang masih
berserakan kemudian membukukannya sebagai mushaf sebagaimana yang kita miliki sekarang.
Contoh hukum ijma’ dan hasilnya
Alasan
jumhur ulama membuat kesepakatan dari hadis adalah sabda Rasulullah SAW. Yang
artinya“umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan.” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi).
Dalam hadis
lain Rasulullah SAW.bersabda: “golongan umatku senantiasa berada dalam
kebenaran yang nyata dan mereka tidak akan mendapat mudarat dari orang-orang
yang berbeda pendapat dengan mereka (HR. Bukhari dan muslim)
Seluruh
hadits itu menurut Abdul Wahab Khallaf menunjukan bahwa suatu hukum yang
disepakati oleh seluruh mujtahid sebenarnya merupakan hukum umat islam
seluruhnya yang diperankan oleh para mujtahid mereka. Oleh sebab itu sesuai
dengan kandungan hadits-hadits diatas tidak mungkin para mujtahid tersebut
melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat
melalui para mujtahid merekamaka tidak ada alasan untuk menolaknya.
Pengambilan
dasar hukum berdasarkna kesepakatan para mujtahid adalah al-Quran yang
berbunyi:
يأيّها
الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
Menurut
sebagian Ulama’ bahwa yang dimaksud dengan ulil amri yaitu penguasa, dan ulil
amri adalah seorang mujathid. Sebagian ulama lain menafsirkannya dengan ulama.
Apabila Mujtahid telah sepakat terhadap ketetapan hukum suatu peristiwa atau
masalah, maka mereka wajib di taati oleh umat. Dari pemahaman seperti ini, pada
dasarnya Ijma’ dapat di jadikan aternatif dalam menetapkan hukum suatu
peristiwa yang di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak ada atau kurang jelas
hukumnya.
Berikut merupakan
contoh-contoh ijma’, yaitu:
1.
Diadakannya adzan dua kali dan iqomah untuk sholat jum’at, yang diprakarsai
oleh sahabat Utsman bin Affan r.a. pada masa kekhalifahan beliau. Para sahabat
lainnya tidak ada yang memprotes atau menolak ijma’ Beliau tersebut dan diamnya
para sahabat lainnya adalah tanda menerimanya mereka atas prakarsa tersebut.
Contoh tersebut merupakan ijma’ sukuti.
2. Upaya
pembukuan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar As- Shiddiq
r.a.
3.
Menjadikan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an.
Para mujtahid bahkan seluruh umat Islam sepakat menetapkan As-Sunnah sebagai
salah satu sumber hukum Islam.
4. Para
mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat.Hal
ini sesuai dengan hadis Nabi SAW.yang berbunyi:
عَنْ
عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى
الله عليه وسلم ( يَامَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ
فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ.
Artinya:
Abdullah
Ibnu Mas’ud RA berkata: Rasulullah SAW bersabda pada kami: “Wahai generasi
muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin,
karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa
belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu.” Muttafaq
Alaihi.
Beliau
bersabda : “Nikahlah kalian dengan perempuan yang memberikan banyak anak dan
banyak kasih sayang. Karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah umatku
kepada para nabi lainnya di hari kiamat nanti.” (H.R. Ahmad)
5. Contoh
ijma’ yang dilakukan pada masa sahabat seperti ijma’ yang dilandaskan pada
Al-Qur’an adalah kesepakatan para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan
cucu perempuan berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 23.
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالاتُكُمْ وَبَنَاتُ الأخِ وَبَنَاتُ الأخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الأخْتَيْنِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya:
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua);
anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka
tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”[15]
Para ulama
sepakat bahwa kata ummahat (para ibu) dalam ayat tersebut mencakup ibu
kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak wanita) dalam ayat tersebut
mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
6.
Kesepakatan ulama atas keharaman minyak babi yang di-qiyaskan atas keharaman
dagingnya.
7. Shalat
tarawih adalah shalat dilakukan sesudah sholat isya’ sampai waktu fajar.
Bilangan rakaatnya yang pernah dilakukan oleh Rasulullah adalah 8 rakaat. Umar
bin Khattab mengerjakannya sampai 20 rakaat. Amalan Umar bi Khattab ini
disepakati oleh ijma’. Ijma’ ini tergolong ijma’ fi’ly dari Khulafa’ Rosyidin.
8. Para
ulama Mujtahid sepakat bahwa jual beli dihalalkan, sedangkan riba diharamkan.
9. Jual beli
madhamin (jual beli hewan yang masih dalam perut) menurut jumhur ulama’ tidak
dibolehkan. Alasannya adalah mengandung unsur gharar (yang belum jelas
barangnya).
10. Para
sahabat di zaman Umar bin Khattab bersepakat menjadikan hukuman dera sebanyak
80 kali bagi orang yang meminum-minuman keras. Ijma’ tersebut termasuk dzanni.
11. Ijma’
sahabat tentang pemerintahan. Wajib hukumnya mengangkat seorang imam atau
khalifah untuk menggantikan Rasulullah dalam mengurusi urusan Daulah Islamiyah
yang menyangkut urusan agama dan dunia yang disepakati oleh para Sahabat di
Saqifah Bani Sa’idah.
12. Hak
menerima waris atas kakek bersama-sama dengan anak, apabila seseorang meninggal
dunia dan meninggalkan ahli waris (yakni ) anak dan kakek. Kakek ketika
tidak ada bapak bisa menggantikan posisinya dalam penerimaan
warisan, sehingga bisa menerima warisan seperenam harta sebagaimana yang
diperoleh bapak, meski terdapat anak dari orang yang meninggal.
13. Para
imam madzhab sepakat bahwa antara kerbau dan sapi adalah sama dalam perhitungan
zakatnya.
14. Ulama’
sepakat tentang dibolehkannya daging dhob karena sahabat sepakat bahwa diamnya
nabi adalah membolehkan.
15. Ijma’
tentang pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah karena mengqiyaskan kepada
penunjukan Abu Bakar oleh Nabi menjadi imam shalat ketika Nabi sedang
berhalangan.
16. Ulama
sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun
Islam.
17. Para
ulama sepakat bahwa zakat fitrah adalah wajib.
Pendapat yang
terkuat, zakat fitrah hukumnya wajib. Ini merupakan pendapat jumhur ulama, di
antara mereka adalah Abul Aliyah, Atha’ dan Ibnu Sirin, sebagaimana disebutkan
Al-Imam Al-Bukhari. Bahkan Ibnul Mundzir telah menukil ijma’ atas wajibnya
fitrah, walaupun tidak benar jika dikatakan ijma’. Namun, ini cukup menunjukkan
bahwa mayoritas para ulama berpandangan wajibnya zakat fitrah. Dasar mereka
adalah hadits Nabi SAW.
Dari Ibnu
Umar ia mengatakan: “Rasulullah SAW. menfardhukan zakat fitri satu sha’ kurma
atau satu sha’ gandum atas budak sahaya, orang merdeka, laki-laki, wanita,
kecil dan besar dari kaum muslimin. Dan Nabi memerintahkan untuk ditunaikan
sebelum keluarnya orang-orang menuju shalat (Id).” (Shahih, HR. Al-Bukhari,
Kitabuz Zakat Bab Fardhu Shadaqatul Fithri 3/367, no. 1503 dan ini lafadznya.
Diriwayat-kan juga oleh Muslim). Dalam lafadz Al-Bukhari yang lain: “Nabi
memerintahkan zakat fitri satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum.” (HR.
Al-Bukhari no. 1507). Dari dua lafadz hadits tersebut nampak jelas bagi kita
bahwa Nabi menfardhukan dan memerintahkan, sehingga hukum zakat fitrah adalah
wajib.
Dalam hal
ini, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa hukumnya sunnah muakkadah (sunnah
yang sangat dianjur-kan). Adapula yang berpendapat, hukumnya adalah hanya sebuah
amal kebaikan, yang dahulu diwajibkan namun kemudian kewajiban itu dihapus.
Pendapat ini lemah karena hadits yang mereka pakai sebagai dasar lemah menurut
Ibnu Hajar. Sebabnya, dalam sanadnya ada rawi yang tidak dikenal. Demikian pula
pendapat yang sebelumnya juga lemah. (Lihat At-Tamhid, 14/321; Fathul Bari,
3/368, dan Rahmatul Ummah fikhtilafil A`immah hal. 82).
Pengertian
qiyas
Menurut istilah, qiyas berarti menetapkan hukum suatu
masalah atau kejadian yang tidak ada hukumnya dengan masalah yang sudah ada
hukumnya, karena di antara keduanya ada persamaan illat (sebab-sebab hukum).
Rukun
Qiyas
Qiyas
memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
1. Asal
(pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis
alaihi.
2. Fara’ (cabang),
yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
3. Hukm
al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya.
Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
4. Illat,
adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun
atasnya.
Contoh hukum
mengharamkan minuman keras seperti bir atau wiski.
Haramnya minuman ini karena diqiyaskan dengan khamar yang disebutkan dalam
Alquran (QS. Almaidah: 90-91) karena antara kedua-duanya terdapat
persamaan illat (sebab, alasan, sifat) yaitu sama-sama memabukkan atau najis.
Perihal ijtihad ini, dapatlah disimpulkan bahwa
problematika kehidupan manusia yang muncul senantiasa bisa dijawab oleh Islam
melalui pintu ijtihad. Serta Islam sangat menghargai peran akal, asal peran
akal ini dipergunakan melalui rambu-rambu yang telah ditetapkan. Dari segi
inilah Islam sangat menghargai ijtihad.
Sebagaimana sabda rasulullah SAW:
"Apabila seseorang hakim memutuskan perkara,
kemudian ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala, namun apabila ijtihadnya salah, maka ia memperoleh satu
pahala" (HR. Bukhari Muslim)
Istihsani
Yaitu memindahkan hukum dari ketentuan umum kepada
pengecualian karena adanya alasan yang lebih kuat.
Istishab
Yaitu Menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya
sampai adanya dalil yang merubah keadaan tersebut.,
Maslahatul Mursalah
Yaitu mencari kemaslahatan sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah menetapkan
hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan
berdasar pada kemaslahatan semata ( yang oleh syara’ tidak dijelaskan dibolehkan atau
dilarang) atau bila juga sebagai memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam
nas atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan. terima kasih menyempatkan diri tuk membaca blog ku yg serba kekurangan ini.."amatir" semoga bermanfaat, salam manis PNL..:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar